Seperti yang kita ketahui bahwa Asean Economic Community merupakan suatu
program yang menitikberatkan pada bidang ekonomi dari para negara anggota ASEAN
yang akan mulai dipatenkan pada bulan Desember 2015 nanti. Program ini akan
meniscayakan terjadinya Free Trade antar
negara anggotanya dengan membebaskan bea masuk dari transaksi perdagangan
barang, jasa, modal, maupun investasi. Konsep free trade tersebut tentunya nanti dapat menjadikan komunitas ini
menjadikannnya sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara karena terciptanya
integrasi perekonomian negara-negara ASEAN.
Ketika berbicara mengenai konsep
perdagangan bebas terutama yang terjadi antara negara-negara, maka diperlukan
suatu kepercayaan yang cukup tinggi sehingga hubungan kerjasama perdagangan
antar negara tersebut dapat berlangsung dengan baik. Suatu kepercayaan tidak
dapat muncul begitu saja didalam suatu hubungan kerjasama, namun perlu proses
untuk menimbulkannya yaitu melalui profesionalitas dari setiap pihak yang
berkepentingan didalamnya. Kualitas dari suatu kerjasama internasional sangat
ditentukan oleh profesionalitas dari setiap stakeholder
yang ada untuk menjamin umur panjang dari hubungan kerjasama tersebut. Indonesia
dengan tingkat profesionalitas tenaga kerjanya yang sangat bervariasi sangat
membutuhkan adanya standar agar menjadi pedoman bagi tenaga profesional
Indonesia sehingga mampu survive didalam
persaingan sebab bisa dikatakan merekalah perpanjangan tangan Indonesia dalam
menciptakan panjangnya umur kerjasama antar negara di era AEC nanti.
Perdagangan
Tenaga Ahli Indonesia
Salah satu ruang lingkup perdagangan
pada program AEC sendiri adalah perdagangan jasa terutama jasa dari para tenaga
ahli. Penyebaran tenaga ahli baik tenaga ahli lokal maupun asing didalam suatu
negara akan semakin luas ketika program ini telah diterapkan. Penghapusan bea
masuk atas tenaga ahli yang masuk antar negara ASEAN tersebut menjadi penyebab
dari fenomena tersebut. Ketika penyebaran tenaga kerja yang semakin luas
terjadi, maka persaingan antar tenaga kerja pun juga tentu saja akan terjadi.
Hal ini bisa saja terjadi terutama ketika lapangan pekerjaan yang tersedia
tidak lagi mampu mengimbangi jumlah tenaga ahli yang semakin meningkat.
Perdagangan bebas yang juga akan
meningkatkan persaingan bagi setiap pelaku usaha tentunya tidak akan main-main
lagi dalam melakukan perekrutan tenaga kerja demi masa depan usahanya tersebut.
Menghadapi hal tersebut, tentu saja persiapan yang sangat matang harus segera
dilakukan mengingat waktu yang tersedia untuk persiapan tersebut tinggal satu
tahun lagi. Berbagai pihak terutama para penentu kebijakan didalam suatu negara
harus mulai memikirkan jalan keluar dari permasalahan ini. Kebijakan yang akan
mendukung terciptanya kualitas profesionalisme yang semakin meningkat dari para
tenaga ahli yang akan bersaing di kancah Asean
Economic Community 2015 nanti.
Perlunya
Standardisasi bagi Tenaga Ahli Indonesia
Negara-negara ASEAN saat ini memiliki
tenaga kerja yang lebih bervariasi terutama dari sisi keahlian dan tingkat
profesionalnya. Bervariasinya profesionalisme tersebut maka tentunya dibutuhkan
suatu panduan yang jelas agar terciptanya standardisasi secara global. AEC
telah menyiapkan blueprint yang
membahas mengenai pengaturan khusus tenaga kerja terampil (skilled labour)
yaitu tenaga yang memiliki pengetahuan, ketrampilan dan keahlian khusus
dibidangnya yang didapat melalui pendidikan maupun pengalaman kerja.
Negara-negara ASEAN telah menyepakati beberapa Nota Saling Pengakuan/Mutual
Recognition Arrangement (MRA)
yang merupakan pengakuan terhadap hasil penilaian seperti tes atau sertifikat
untuk para professional.
Hasil penilaian tersebut tentunya akan
menjadi pegangan bagi para tenaga kerja agar dapat bersaing dengan tenaga asing
nantinya. Sertifikat profesional itulah yang akan menunjukkan bahwa standard
tenaga ahli negara kita sudah mampu untuk berkompetisi pada masa AEC 2015
nanti. Standar yang ditunjukkan melalui sertifikat itupun yang akan menjadi pegangan
bagi para tenaga ahli agar mampu meningkatkan daya saing pemilik sertifikat
tersebut.
Standardisasi kualitas profesional
tenaga kerja tersebut akan menjadi langkah strategis dalam mempersiakan tenaga
ahli lokal Indonesia untuk menghadapi persaingan luar negeri yang tidak dapat
kita pungkiri bahwa kualitas maupun kuantitas tenaga kerja mereka berada diatas
negara kita. Indonesia hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri ketika
standardisasi ini tidak dilakukan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Perusahaan-perusahaan yang ada pastinya menginginkan para tenaga kerja nya
memiliki kualitas dan keahlian yang prima sehingga kegiatan usaha mereka dapat
berumur panjang. Hal itulah yang menjadi dasar mengapa standardisasi ini
diperlukan mengingat persaingan tenaga
kerja di era AEC nanti akan semakin ketat. Tenaga ahli dari luar negeri akan
masuk ke Indonesia dan ketika kualitas tenaga kerja lokal Indonesia belum mampu
melampaui atau paling tidak setara dengan kualitas tenaga asing tersebut, maka
tenaga lokal Indonesia tentu saja akan semakin tersingkir.
Menteri PPN/Kepala
Bappenas, Armida Alisjahmana mengatakan dalam pelaksanaan AEC tahun depan,
ASEAN sudah sepakat meliberalisasi pasar tenaga kerja di 12 sektor usaha, yaitu
tujuh sektor perdagangan dan industri serta lima sector jasa. Armida mengakui,
tenaga kerja atau sumber daya manusia (SDM) Indonesia di 12 sektor tersebut
masih memiliki kelemahan karena kurangnya ketrampilan atau skill. Apalagi, ada
delapan bidang yang sudah masuk Mutual Recognition Arrangements (MRAs), yakni
jabatan Insinyur, perawat, surveyor, arsitek, tenaga pariwisata, praktisi
medis, dokter gigi dan akuntan. Artinya sektor-sektor tersebut akan
disertifikasi kompetensi tenaga kerjanya untuk bisa masuk ke Negara-negara
ASEAN. Meskipun demikian, lanjut Armida, Indonesia yang saat ini menguasai 38
persen dari penduduk usia produktif ASEAN berpeluang mengirim tenaga kerja
terampil ke Negara-negara lain yang kekurangan penduduk usia produktif. “Negara
seperti Singapura dan Thailand itu penduduk usia produktifnya kecil. Kita
berpeluang masuk ke situ,” ucapnya. Sebagai gambaran, data Organisasi Buruh
Internasional (ILO) pada tahun 2013 menyebutkan ada 300 juta kesempatan kerja
yang terbuka di kawasan ASEAN dan Pasifik.
Harmonisasi dan
standardisasi menjadi kunci penting atas hubungan kerjasama ini. AEC blueprint pun telah menyebutkan bahwa
akan dilakukan pengembangan atas kompetensi inti serta kualifikasi untuk para
calon tenaga ahli yang nantinya akan dibutuhkan terutama pada sektor-sektor
prioritas. Standardisasi tidak hanya dilakukan begitu saja, namun juga akan
dilakukan berbagai macam penelitian untuk pengembangan antara negara anggota
ASEAN sehingga nantinya akan mempermudah informasi labour market dan menciptakan persaingan yang lebih merata dan adil
diantara negara ASEAN.
Bagaimana dengan
kesiapan pendidikan di Indonesia?
Saat
ini Indonesia cenderung mengalami peningkatan apabila dilihat berdasarkan ranking dari AEC Scorecard dari Fase I (2008-2009), Fase II (2010-2011), dan Fase
III (2012-2013). Hingga fase ketiga Indonesia kini meraih peringkat keenam dari
sepuluh negara ASEAN yang lain. Walaupun hal ini sudah terbilang suatu kemajuan
yang cukup baik, namun Indonesia masih perlu melakukan pembenahan diberbagai
sisi terutama dari segi kebijakan mengenai pendidikan yang akan menunjang para
tenaga ahli Indonesia agar mampu menandingi daya saing secara global nantinya.
Indonesia
merupakan negeri yang sangat kaya sehingga memiliki potensial market yang
tinggi. Sumber Daya Alam yang kaya serta jumlah penduduk yang tinggi menjadikan
Indonesia sebagai sasaran bagi negara asing sehingga persaingan pun akan
semakin meningkat. Ketika pendidikan yang menjadi dasar bagi para calon tenaga
ahli tidak mampu untuk menunjang mereka agar mampu survive didalam persaingan maka tentu saja kita hanya akan menjadi
penonton di negerinya sendiri. Menjadi seorang tenaga kerja ahli yang akan ikut
dalam berpartisipasi
di AEC (arsitektur, pengacara,
akuntan, doktor, desainer interior, dll.) bukanlah suatu hal yang mudah. Mereka
harus melewati berbagai macam jenjang pendidikan untuk meningkatkan mutu
profesionalisme mereka. Jika dibandingkan jumlah angkatan kerja Indonesia
dengan masyarakatnya yang telah bekerja, pencapaian penyerapan tenaga kerja di
Indonesia bisa dikatakan cukup baik yaitu sebesar 94,08% dari keseluruhan
angkatan kerja.
Hal yang kemudian menjadi permasalahan adalah
ternyata dari keseluruhan 94,08% tersebut, hampir 50% tenaga kerja yang telah
terserap hanyalah lulusan Sekolah Dasar sedangkan untuk menjadi seorang tenaga
ahli perlu untuk melalui berbagai macam tes serta jenjang pendidikan agar dapat
memenuhi standar dunia yang dibutuhkan. Hal ini jugalah yang menjadi kekurangan
tenaga kerja Indonesia dari segi kuantitas jika dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN yang lain padahal jika dibandingkan dengan keadaan
Indonesia yang berpenduduk tinggi seharusnya mampu menghasilkan lebih banyak
lagi tenaga-tenaga ahli yang profesional.
Hal ini menjadi PR besar bagi pemerintah
Indonesia agar mampu menghasilkan kebijakan agar pemerataan pendidikan bisa
lebih optimal. Kurikulum yang dapat membantu para calon tenaga ahli agar bisa
lebih kompeten serta bisa disetarakan dengan standar Internasional tanpa
menafikkan budi luhur negara kita. Pendidikan dasar yang akan menunjang
masyarakat Indonesia agar mampu bersaing secara global tanpa kehilangan moral
dasarnya sebagai bangsa Timur yang selalu memperhatikan moral dan kearifan
lokal nya yang senantiasa menjunjung tinggi budi pekerti.
Indonesia
di era AEC, siapkah ?
Mungkin
banyak diantara kita yang cenderung pesimis dengan posisi kita nantinya ketika
telah memasuki era AEC. AEC seharusnya menjadi suatu peluang bagi negara kita
untuk bisa lebih mengembangkan potensi nya. Sumber Daya Alam yang baik serta
jumlah angkatan kerja yang besar ketika dikelola dengan baik maka bisa menjadi
kekuatan yang cukup besar dan tentu saja tidak dapat dipungkiri nantinya akan
menjadi batu loncatan bagi Indonesia untuk mendapatkan kembali martabatnya
dikalangan Internasional.
Menghitung
AEC tinggal satu tahun lagi, semua pihak baik itu pemerintah, masyarakat, terutama
mahasiswa pun tidak boleh lagi bersantai. Mahasiswa yang merupakan penganyam
pendidikan formal tertinggi akan menjadi generasi penerus tenaga ahli Indonesia
di kancah global. Mereka lah sosok intelektual yang akan mampu membawa nama
baik Indonesia dalam memenuhi standar Internasional demi kemajuan Indonesia. Daripada
terus menerus memikirkan apakah AEC ini merupakan ancaman atau peluang,
sebaiknya segala pihak mulai mempersiapkan diri mereka terutama bagi mereka
yang merupakan angkatan kerja dan merupakan tenaga ahli lokal Indonesia.
Berdasarkan berbagai penjelasan diatas, standardisasi menjadi poin inti
atas keberhasilan para tenaga ahli Indonesia dalam dunia persaingan nantinya. Indonesia
harus memulai menyusun kurikulum pendidikan untuk mendukung kompetensi tenaga
ahli lokal sehingga mampu memenuhi standar yang telah disebutkan didalam blueprint AEC. Jangan biarkan Indonesia
dikuasai asing lagi dan kita hanya bisa menjadi penonton dirumah sendiri.
Jangan biarkan rakyat Indonesia menjadi budak asing lagi. Saatnya rakyat
Indonesia sendiri yang menjadi penentu kemajuan negara kita sendiri.DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Kerjasama Industri
Internasional. 2013. ASEAN Economic
Community 2015 Tantangan atau Peluang?. [pdf].
(http://students.polibatam.ac.id/files/ASEAN-Economic-Community-2015,-Tantangan-atau-Peluang-oleh-Direktorat-Jenderal-Kerjasama-Industri-Internasional.pdf,)
Jawa
Pos. 2014. SDM Indonesia Masih Minim Skill (AEC Liberalisasi Pasar Tenaga Kerja
12 Sektor). (Online). (http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ketenagakerjaan/997-sdm-indonesia-masih-minim-skill-aec-liberalisasi-pasar-tenaga-kerja-12-sektor)
Sadrach,
Jolanda. 2014. Mempersiapkan SDM
Indonesia Menghadapi ASEAN Economic Community 2015. (Online). (http://srwasia.com/events/news/mempersiapkan-indonesia-menghadapi.html?pid=5002)